Laman

Selasa, 22 Juli 2014

Rumah Adat Jawa Tengah (Yogyakarta)



Perkembangan Arsitektur Tradisional di Nusantara
            Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya atau politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri.
Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, struktur ,fungsi,ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat di pakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya.  Dalam rumusan arsitektur dilihat sebagai suatu bangunan, yang selanjutnya dapat berarti sebagai suatu yang aman dari pengaruh alam seperti hujan, panas dan lain sebagainya. Suatu bangunan sebagai suatu hasil ciptaan manusia agar terlindung dari pengaruh alam, dapatlah dilihat beberapa komponen yang menjadikan bangunan itu sebagai tempat untuk dapat melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya.

Ciri-ciri Arsitektur Tradisional
            Mengingat norma, kaidah, dan tata nilai dalam masa kini masih banyak kemungkinan berubah maka dalam usaha mencari identitas budaya yang dapat diterapkan pada bangunan baru disarankan sebagai berikut. Arsitektur yang mempunyai identitas yang sedikit atau tidak dipengaruhi oleh perubahan norma tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur Tradisional untuk diterapkan pada bangunan baru.
Iklim merupakan factor yang tidak berubah (relative) Indonesia beriklim tropis panas dan lembap. Karena letaknya di sekitar khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan maka sepanjang tahun sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana mengakibatkan suhu yang selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang berkaitan dengan iklim yang panas misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak terlalu landai.
Disamping itu ruang-ruang yang terbuka, dimana dinding tidak menutup rapat ke bidang bawah atau lanmgit-langit memungkinkan ventilasi yang leluasa, hal mana mempertinggi comfort dalam ruang. Dinding atau bidang kaca yang berlebihan, apalagi tidak di lindungi terhadap sinar matahari langsung, dan hujan tidak sesuai untuk iklim tropis.Kita sering menggunakan air conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan dengan tepat sebenarnya tidak memerlukannya. Energy yang diperlukan untuk air conditioning cukup besar. Dalam Negara yang sedang menganjurkan hemat energy, hendaknya penggunaan air conditioning juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali merupakan open air habitation.
Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara" pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu bangunan gedung yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar “ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat saintifik.
Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi: dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”, tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau kesetempatannya.
Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam “arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku kuliah atau di studio para konsultan profesional.

Arti Rumah Bagi Orang Jawa.
Arya Ronald dalam buku “Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa” (2005:3-12) 7) mengatakan bahwa masyarakat Jawa dengan faham jawanya (“kejawen”) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti: mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara “kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara “microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 kelompok, yaitu: “pangan”, “sandang” dan “papan”.
Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual, rohaniah dan simbolik. Untuk tuntutan metafisik biasanya relatif lebih cepat tercapai, sementara untuk tuntutan fisik hampir tidak pernah mencapai kepuasan. Tuntutan tersebut akan berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan disekitarnya. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan “papan”, bagi orang Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan “longkangan” (ruang), “panggonan” (tempat untuk menjalani kehidupan), “panepen” (tempat kediaman (”settle -ment”) dan “palungguhan” (tempat duduk atau berinteraksi).
Orang Jawa membutuhkan ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sebagian besar hidup secara agraris, dekat dan akrab dengan alam. Sejak kecil masyarakat Jawa dilatih agar selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Mereka memerlukan tempat untuk bersama dan berinteraksi. Selain merupakan ungkapan dari tujuan hidup penghuninya, bagi manusia Jawa, rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya. Hal ini, sesuai dengan filsafat hidup orang Jawa, yang mengatakan bahwa prestasi seorang pria Jawa dapat diukur apabila dia sudah memiliki; “wanito” (wanita - keindahan/cita-cita), “garwo” (istri-bersatu dengan lingkungan), “wismo” (rumah-perlindungan atau kebijaksanaan) “turonggo (kendaraan-jasmani/nafsu), “curigo” (keris-kepandaian, keuletan), “kukilo (burung-kegembiraan), “waranggono” (penyanyi wanita-cita-cita penuh gangguan) dan “pradonggo” (pemukul gamelan-cita-cita meraih ketentraman).
Budiono Herusatoto dalam buku “Simbolisme Dalam Budaya Jawa” (1987:88-89) 8) mengatakan bahwa selain berfungsi sebagai tempat kediaman keluarga, sebagai tempat untuk berlindung terhadap terik panasnya matahari, basahnya hujan serta dinginnya udara malam, rumah juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan segala macam benda keluarga. Setiap manusia Jawa diharapkan dapat meniru sifat dari rumah, yaitu: dapat menerima siapapun yang perlu perlindungan, dapat menyimpan segala masalah, bijaksana serta dapat mengatur waktu dan tempat mengeluarkan pendapatnya Selanjutnya Arya Ronald, dalam buku “Manusia dan Rumah Jawa” (1988) 9) mengatakan bahwa: bagi keluarga Jawa, rumah merupakan ungkapan dari status kemampuan sosial dan ekonomi rumah tangga, sehingga rumah direncanakan dan dibuat dengan hati-hati agar dikemudian hari dapat memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik. Keluarga Jawa sangat akrab dalam menggalang hubungan antar anggauta keluarga, kadang-kadang bahkan sampai batas kekerabatan. Sehingga akibatnya meskipun pada kenyataannya tidak setiap hari digunakan, bangunan rumah Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas untuk kepentingan keluarga inti saja, tetapi apabila mungkin dapat menampung keluarga lain.
Hal ini disatu pihak menunjukkan perwujudan yang tidak efisien, tetapi pada suatu saat dapat dibuktikan akan sangat efektif. Bagi keluarga Jawa, rumah juga merupakan monumen keluarga, sehingga selalu direncanakan dan dibuat sedemikian rupa kuatnya, agar dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Selain itu, pribadi manusia Jawa mempunyai harga diri yang cukup tinggi, dengan idealisme yang cukup tinggi, tetapi tidak akan ditonjolkan secara berlebihan pada masyarakat umum. Keadaan ini menunjukkan bahwa karya cipta Jawa tidak banyak mengungkapkan karya pribadi seseorang, namun bila suatu kesempatan tersedia bagi dirinya, maka idealisme tersebut akan terungkap dengat sangat nyata dan rumit. Selain ingin berlindung terhadap pengaruh negatif dari alam, seperti: angin kencang, sinar matahari yang berlebihan atau hujan badai, manusia Jawa pada dasarnya ingin selalu akrab dengan alam.
Di dalam buku: “Kitab Primbon Betaljemur Adammakna” (1980) 10) karangan R.Soemodidjojo, dikatakan bahwa manusia Jawa didalam memilih lokasi pekarangan, menentukan arah orientasi rumah, memulai pembangunan rumah, memasang bagian rumah dan menentukan letak pintu halaman mengenal adanya aturanaturan tertentu (”petungan”) , yang diyakini akan membawa keberuntungan dan keselamatan dalam hidupnya, sehingga sikap dan perilakunya dalam membangun rumah, sedikit banyak diwarnai oleh aturan-aturan atau ”petungan-petungan” tersebut. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa di dalam mewujudkan tempat tinggal yang masih memenuhi norma-norma tersebut, orang Jawa mempunyai pola kerja yang ditujukan untuk mencapai tiga sasaran pokok, yaitu: kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan kasih sayang dari lingkungannya.
Apabila pola tata kerja tersebut dikaitkan dengan penentuan tipe bangunan, bentuk bangunan dan lokasi tempat bangunan tersebut berada, maka akan diperoleh hubungan sebagai berikut: (1). Tipe bangunan rumah sangat tergantung pada aspek sosial, dalam hal ini erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya. (2). Bentuk bangunan tergantung pada aspek geografis dan aspek sosial yang erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh kasih sayang dengan lingkungan sekitarnya. dan (3). Penentuan lokasi sangat tergantung pada aspek geografis, dalam arti dirinya sendiri adalah bagian dari alam.









Rumah Joglo

Gambar: Rumah Joglo

Masyarakat Jawa dengan faham jawanya (“kejawen”) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara “kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara“microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 kelompok, yaitu: “pangan”, “sandang” dan“papan”.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual,rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan“papan”, bagi orang Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan: “longkangan” (ruang),“panggonan” (tempat untuk menjalani kehidupan), “panepen” (tempat kediaman) dan “palungguhan” (tempat duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya. Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2 pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan sendiri
2. Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan.
    Jenis rumah joglo
1.Rumah Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe


Atap “ Wuwungan “
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan material kayu, mulai dari kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang disokong oleh masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan beban atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan tegangan tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Rangka Atap Joglo dibentuk oleh beberapa elemen bangunan, yaitu:
(1).Reng,
(2).Usuk,
(3).Molo,
(4).Ander,
(5).Dudur dan
(6). Blandar.
Sedangkan Tumpang Sari adalah balok-balok yang disusun dengan teknik tumpang, dan berfungsi untuk mendukung berat atap. Tumpang Sari dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: Bagian sayap (“elar”) dan Bagian dalam (“ulen”).
                   
Gambar: Ornamen Mahkota

Gambar: Mahkota

                                                Gambar: Jenis-jenis Ornamen
 a. Gunungan (Kayon / kekayon)
Gunungan adalah simbol dari jagad raya. Puncaknya adalah lambang keagungan dan keesaan. Bentuk simbol ini memang menyerupai gunung (seperti yang sering  dipakaidalam wayang kulit).Dalam prakteknya, orang-orang Jawa memasang motif gunungan di rumah mereka sebagi pengharapan akan adanya ketenteraman dan lindungan Tuhan dalam rumah tersebut.

 b. Lung-lungan
Sesuai dengan arti harafiah kata “lung” sendiri yang berarti batang tumbuhan yang masih muda, simbol ini berupa tangkai, buah, bunga dan daun yang distilir. Jenis tumbuhan yang sering digunakan adalah tumbuhan  teratai, kluwih, melati, beringin, buah keben dsb. Simbol ini melambangkan kesuburan sebagai sumber penghidupan dimuka bumi.
 c. Wajikan
Berasal dari kata ”wajik”, yaitu sejenis makanan dari beras ketan yang dicampur gulakelapa. Sesuai dengan namanya, wajikan berupa bentukan belah ketupat yang ditengahnya terdapat stilasi bunga.

 d. Patran
Patran berbentuk seperti daun yang disusun berderet-deret. Biasanya patran ditempatkan di bagian bangunan yang sempit dan panjang.

 e. Banyu-tetes
Ornamen ini biasa diletakkan bersamaan dengan patran. Sesuai dengan namanya, oranamen ini menggambarkan tetesan air hujan dari pinggiran atap (tritisan) yang berkilau-kilau memantulkan sinar matahari.

 f. Banaspati / Kala / Kemamang
Ragam hias berbentuk wajah hantu / raksasa. Banaspati ini melambangkan raksasa yang akan menelan / memakan segala sesuatu yang jahat yang hendak masuk kedalam rumah. Karenanya ragam hias ini biasa ditempatkan di bagian depan bangunan,seperti pagar, gerbang, atau pintu masuk.
Tiang “ Saka Guru “ Rumah Joglo mempunyai 16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah “saka guru” dengan masing masing tiang berukuran (15cm x15cm) dan 12 buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah “Blandar Tumpang Sari” lengkap dengan “kendhit” atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6 m.
Masing-masing tiang memiliki nama sesuai dengan letaknya pada bangunan tersebut.Satu atau beberapa tiang yang menyokong atap yang paling tinggi disebut soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap bagian paling luar disebut soko emper.
Selain itu, ada beberapa tiang yang digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo yang lainnya, yaitu soko bentung, yang letaknya menggantung di antara bagian atap paling atas dengan atap di bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung menyokong atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.




Gambar: Tiang Soko Santen

Gambar: Bagian Atap Pada Rumah Joglo

Sistem Struktur Bangunan Joglo
Sistem struktur bangunan Joglo dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu:
(1).  Sistim Struktur Rangka Utama dan
(2). Sistim Struktur Rangka “Pengarak” (Pengikut).Sistim Rangka Utama Bangunan Joglo terdiri atas tiga bagian, yaitu: “Brunjung”,“Soko Guru” dan “Umpak”.


Gambar: Struktur Bangunan Joglo

Gambar: Struktur Bangunan Joglo
Gebyog
Gebyog merupakan dinding rumah yg terbuat dari kayu. Gebyog memberikan rasasejuk disiang hari , dan hangat di malam hari. Gebyog yang di gunakan untuk OmahLimasan ( dalem) dibuat dengan motif ukiran Kudus, buatan baru dari kayu tua/lama.Kerangka Gebyog menyatu dengan konstruksi bangunan.

Gambar: Gebyog

Makna Filosofis Joglo
Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa, merupakan media perantara untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusi asebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.

Gambar: Filosofis Bangunan Joglo

Rumah Bagi Individu Jawa
Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:
- arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja
- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.
- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.
- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencanayang akan menimpanya.
Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.
Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada diluar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel padatubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.

Rumah Bagi Keluarga Jawa
Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatubentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri. Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.
Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.
Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong(kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan. Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya.


Joglo Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan sajayang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utamayang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati,a kibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.

                                    Gambar: Analogi Joglo

Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk nilai-nilaike masyarakatan.
Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai-dinding-atap) dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagiantubuh manusia (kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya (lahir-hidup-mati). Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos,terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya(pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.

                                     Gambar: Lingkupan Interior Joglo

Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Pada gambar diatas ditandai oleh daerah yang berwarna hijau. Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’,maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa. Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Pada gambar diatas ditandai oleh daerah yang berwarna hijau.
Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’,maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.

a. Pendopo
Pendopo, difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas yang sifatnya formal (pertemuan, upacara, pagelaran seni dan sebagainya). Meskipun terletak di bagian depan, pendapa bukan merupakan ruang penerima yang mengantar orang sebelum memasuki rumah. Jalur akses masuk ke rumah yang sering terjadi adalah tidak dari depan melalui pendapa, melainkan justru memutar melalui bagian samping rumah. Pendopo mempunyai 36 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah saka guru dengan masing masing tiang berukuran (15cm x15cm) dan 28 buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah Blandar Tumpang Sarinlengkap dengan “kendhit” atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran (8,4 m x 7,6 m).
   
Gambar: Denah Pendopo Ndalem Ngabean (kiri) Pendopo Agung Tmii (kanan)

                            
b. Pringgitan
Pringgitan ,lorong penghubung (connection hall) antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit / kesenian / kegiatan publik Emperan adalah teras depan dari bagian omah-njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal.

c. Omah Njero
Omah njero, kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal.

d. Senthong-kiwa
Senthong-kiwa,dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan beras dan alat bertani.

e.  Senthong Tengah
Senthong tengah (krobongan), sering juga disebut sebagai boma, pedaringan, atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong-tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong-tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. Ruang ini sering kali menjadi “ruangpamer” bagi keluarga penghuni rumah tersebut. Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara / ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah.