Perkembangan Arsitektur Tradisional di Nusantara
Arsitektur adalah seni dan ilmu
dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup
merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro
yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke
level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur
juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
Bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat
mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau
tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi
di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan.
Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau
bangunan yang memiliki makna budaya atau politis yang penting. Dan inilah yang
diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski
senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri
sendiri.
Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk,
struktur ,fungsi,ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun
temurun serta dapat di pakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan
sebaik-baiknya. Dalam rumusan arsitektur
dilihat sebagai suatu bangunan, yang selanjutnya dapat berarti sebagai suatu
yang aman dari pengaruh alam seperti hujan, panas dan lain sebagainya. Suatu
bangunan sebagai suatu hasil ciptaan manusia agar terlindung dari pengaruh
alam, dapatlah dilihat beberapa komponen yang menjadikan bangunan itu sebagai
tempat untuk dapat melakukan aktivitas kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Ciri-ciri Arsitektur Tradisional
Mengingat norma, kaidah, dan tata
nilai dalam masa kini masih banyak kemungkinan berubah maka dalam usaha mencari
identitas budaya yang dapat diterapkan pada bangunan baru disarankan sebagai
berikut. Arsitektur yang mempunyai identitas yang sedikit atau tidak
dipengaruhi oleh perubahan norma tata nilai. Ciri-ciri ini dalam Arsitektur
Tradisional untuk diterapkan pada bangunan baru.
Iklim merupakan factor yang tidak berubah (relative)
Indonesia beriklim tropis panas dan lembap. Karena letaknya di sekitar
khatulistiwa antara garis-garis lintang utara dan selatan maka sepanjang tahun
sudut jatuhnya sinar matahari tegak lurus, hal mana mengakibatkan suhu yang
selalu panas. Ciri Arsitektur Tradisional yang berkaitan dengan iklim yang
panas misalnya atap yang mempunyai sudut yang tidak terlalu landai.
Disamping itu ruang-ruang yang terbuka, dimana dinding
tidak menutup rapat ke bidang bawah atau lanmgit-langit memungkinkan ventilasi
yang leluasa, hal mana mempertinggi comfort dalam ruang. Dinding atau bidang
kaca yang berlebihan, apalagi tidak di lindungi terhadap sinar matahari langsung,
dan hujan tidak sesuai untuk iklim tropis.Kita sering menggunakan air
conditioning untuk ruang-ruang yang jika direncanakan dengan tepat sebenarnya
tidak memerlukannya. Energy yang diperlukan untuk air conditioning cukup besar.
Dalam Negara yang sedang menganjurkan hemat energy, hendaknya penggunaan air
conditioning juga dibatasi. Rumah Tradisional Jawa dan Bali merupakan open air
habitation.
Di negeri ini istilah "Arsitektur Nusantara"
pernah menjadi sangat asing, karena di Indonesia pandangan tentang arsitektur
sebagai keilmuan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari semula
mewarisi pandangan pendidikan arsitektur kolonial Belanda “bouwkunde” (ilmu
bangunan gedung yang di masa lalu, bahkan sering disempit-artikan sebagai
struktur, konstruksi, gedung atau bouw), beranjak-ingsut ke pandangan yang
melihat arsitektur sebagai “ilmu perancangan lingkungan binaan”. Meski
demikian, tampaknya sekarang arsitektur cenderung dimasukkan sebagai objek
kajian yang berdimensi lebih kompleks dan berskala lebih luas daripada sekedar
“ilmu perancangan bangunan tunggal” atau ilmu tentang ”seni bangunan”. Muncul
berbagai pradigma keilmuan baru dari yang sangat kultural sampai ke yang sangat
saintifik.
Ketika makin banyak keberagaman etnografis yang
ditemukan pada ciri arsitektur di Indonesia dan di negeri-negeri tetangga, maka
pemahaman “Nusantara” dalam kajian arsitektur pun mengalami kontekstualisasi:
dari sebuah “wilayah politik” berkonotasi “Indonesia” menjadi “ruang budaya”,
tergelar luas dari Barat ke Timur mulai dari negeri-negeri Asia Tenggara
daratan, Aceh sampai dengan kepulauan di Timur Papua; dari Utara ke Selatan
mulai dari Kepulauan Jepang sampai kompleks Pulau Rote. Jauh lebih luas
daripada ”pengertian tradisional” batas wilayah politik Indonesia.
Karena itu, diperlukan pendekatan tersendiri untuk
memahami keadaan dan karakteristik budaya arsitektur Nusantara dalam rentang
waktu yang panjang. Dalam hal ini tampaknya ”ruang budaya” mempunyai peluang
yang cukup luas untuk menguak kembali kesatuan kebudayaan arsitektural di
wilayah ini. Kesatuan kebudayaan arsitektural, yang seyogyanya dipandang tetap
terdiri dari satuan-satuan individu yang tak boleh kehilangan lokalitas atau
kesetempatannya.
Pergeseran pandangan pun terjadi pada tataran
epistemologi. Menyusuli keterbukaan kalangan arsitek akademis di Eropa dan
Amerika sejak awal 1970-an terhadap keberadaan arsitektur “rakyat” (vernacular
architecture) yang senantiasa eksis di luar “ekonomi formal” atau “high
society”, sejak lama berbagai kalangan di Indonesia pun mulai menyadari
keberadaan “Arsitektur (Rakyat) Nusantara”. Ia eksis di samping suatu ragam
“arsitektur industrialistik-skolastikal”, yang dibentuk di ruang rapat para
petinggi keilmuan, di ruang seminar para calon doktor dan master, di bangku-bangku
kuliah atau di studio para konsultan profesional.
Arti Rumah Bagi Orang Jawa.
Arya Ronald dalam buku “Nilai-nilai
Arsitektur Rumah Tradisional Jawa” (2005:3-12) 7) mengatakan bahwa masyarakat
Jawa dengan faham jawanya (“kejawen”)
sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat
khusus, seperti: mempertahankan suasana hidup selaras (harmonis) dengan
lingkungan kehidupan disekitarnya, yang meliputi: keselarasan hubungan antara
manusia dan sesamanya (hubungan antara “kawulo”
dan “gusti”), serta
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam disekitarnya (hubungan antara “microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup
manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 kelompok, yaitu: “pangan”, “sandang” dan “papan”.
Adapun
makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu sisi adalah tuntutan akan
fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan metafisik, seperti: spiritual,
rohaniah dan simbolik. Untuk tuntutan metafisik biasanya relatif lebih cepat
tercapai, sementara untuk tuntutan fisik hampir tidak pernah mencapai kepuasan.
Tuntutan tersebut akan berkembang sesuai dengan perkembangan keadaan
disekitarnya. Selanjutnya orang Jawa membutuhkan sandang untuk memberikan
pengamanan kejiwaan (rasa) dan melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik
lingkungan alamiah maupun sosial. Sedangkan kebutuhan akan “papan”, bagi orang
Jawa diartikan sebagai kebutuhan akan “longkangan”
(ruang), “panggonan” (tempat
untuk menjalani kehidupan), “panepen” (tempat
kediaman (”settle -ment”) dan “palungguhan”
(tempat duduk atau berinteraksi).
Orang
Jawa membutuhkan ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sebagian besar
hidup secara agraris, dekat dan
akrab dengan alam. Sejak kecil masyarakat Jawa dilatih agar selalu mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi. Mereka memerlukan
tempat untuk bersama dan berinteraksi.
Selain merupakan ungkapan dari tujuan hidup penghuninya, bagi manusia Jawa, rumah juga mempunyai
arti sebagai perlambang bahwa dirinya telah
berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap kedudukan sosial ekonominya. Hal ini, sesuai dengan
filsafat hidup orang Jawa, yang mengatakan
bahwa prestasi seorang pria Jawa dapat diukur apabila dia sudah memiliki; “wanito” (wanita - keindahan/cita-cita), “garwo” (istri-bersatu dengan lingkungan), “wismo” (rumah-perlindungan
atau kebijaksanaan) “turonggo” (kendaraan-jasmani/nafsu), “curigo” (keris-kepandaian, keuletan),
“kukilo” (burung-kegembiraan), “waranggono”
(penyanyi wanita-cita-cita penuh
gangguan) dan “pradonggo” (pemukul
gamelan-cita-cita meraih ketentraman).
Budiono Herusatoto dalam buku
“Simbolisme Dalam Budaya Jawa” (1987:88-89)
8) mengatakan bahwa selain
berfungsi sebagai tempat kediaman keluarga,
sebagai tempat untuk berlindung terhadap terik panasnya matahari, basahnya hujan serta dinginnya udara
malam, rumah juga berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan segala macam
benda keluarga. Setiap manusia Jawa diharapkan dapat meniru sifat dari
rumah, yaitu: dapat menerima siapapun yang perlu perlindungan, dapat
menyimpan segala masalah, bijaksana serta dapat mengatur waktu
dan tempat mengeluarkan pendapatnya Selanjutnya Arya Ronald, dalam buku
“Manusia dan Rumah Jawa” (1988) 9) mengatakan bahwa: bagi keluarga Jawa, rumah merupakan ungkapan
dari status kemampuan sosial dan ekonomi rumah tangga, sehingga rumah
direncanakan dan dibuat dengan hati-hati agar dikemudian hari dapat memberikan
jaminan kehidupan yang lebih baik. Keluarga Jawa sangat akrab dalam
menggalang hubungan antar anggauta keluarga, kadang-kadang bahkan sampai
batas kekerabatan. Sehingga akibatnya meskipun pada kenyataannya tidak
setiap hari digunakan, bangunan rumah Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya
terbatas untuk kepentingan keluarga inti saja, tetapi apabila mungkin dapat
menampung keluarga lain.
Hal ini
disatu pihak menunjukkan perwujudan yang tidak efisien, tetapi pada suatu saat
dapat dibuktikan akan sangat efektif. Bagi keluarga Jawa, rumah juga merupakan
monumen keluarga, sehingga selalu direncanakan dan dibuat sedemikian rupa
kuatnya, agar dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Selain itu, pribadi
manusia Jawa mempunyai harga diri yang cukup tinggi, dengan idealisme yang
cukup tinggi, tetapi tidak akan ditonjolkan secara berlebihan pada masyarakat
umum. Keadaan ini menunjukkan bahwa karya cipta Jawa tidak banyak mengungkapkan
karya pribadi seseorang, namun bila suatu kesempatan tersedia bagi dirinya,
maka idealisme tersebut akan terungkap dengat sangat nyata dan rumit. Selain
ingin berlindung terhadap pengaruh negatif dari alam, seperti: angin kencang,
sinar matahari yang berlebihan atau hujan badai, manusia Jawa pada dasarnya
ingin selalu akrab dengan alam.
Di dalam buku: “Kitab Primbon Betaljemur
Adammakna” (1980) 10) karangan R.Soemodidjojo, dikatakan bahwa manusia Jawa
didalam memilih lokasi pekarangan, menentukan arah orientasi rumah, memulai
pembangunan rumah, memasang bagian rumah dan menentukan letak pintu halaman
mengenal adanya aturanaturan tertentu (”petungan”)
, yang diyakini akan
membawa keberuntungan dan keselamatan dalam hidupnya, sehingga sikap dan
perilakunya dalam membangun rumah, sedikit banyak diwarnai oleh aturan-aturan
atau ”petungan-petungan” tersebut. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa di dalam mewujudkan tempat tinggal yang masih memenuhi norma-norma
tersebut, orang Jawa mempunyai pola kerja yang ditujukan untuk mencapai tiga
sasaran pokok, yaitu: kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan
kasih sayang dari lingkungannya.
Apabila
pola tata kerja tersebut dikaitkan dengan penentuan tipe bangunan, bentuk
bangunan dan lokasi tempat bangunan tersebut berada, maka akan diperoleh
hubungan sebagai berikut: (1). Tipe bangunan rumah sangat tergantung pada aspek
sosial, dalam hal ini erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh
pengakuan dari masyarakat sekitarnya. (2). Bentuk bangunan tergantung pada
aspek geografis dan aspek sosial yang erat hubungannya dengan upaya pemilik
untuk memperoleh kasih sayang dengan lingkungan sekitarnya. dan (3). Penentuan
lokasi sangat tergantung pada aspek geografis, dalam arti dirinya sendiri
adalah bagian dari alam.
Rumah Joglo
Gambar: Rumah Joglo
Masyarakat Jawa dengan faham jawanya
(“kejawen”) sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana
kepercayaan primitif, yang memilki sifat-sifat khusus, seperti mempertahankan
suasana hidup selaras (harmonis) dengan lingkungan kehidupan disekitarnya, yang
meliputi: keselarasan hubungan antara manusia dan sesamanya (hubungan antara
“kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan lingkungan alam
disekitarnya (hubungan antara“microcosmos” dan “macrocosmos”). Kebutuhan hidup
manusia Jawa, dapat disederhanakan menjadi 3 kelompok, yaitu: “pangan”,
“sandang” dan“papan”.Adapun makna kebutuhan pangan bagi masyarakat Jawa disatu
sisi adalah tuntutan akan fisik, sedangkan disisi lain, adalah tuntutan
metafisik, seperti: spiritual,rohaniah dan simbolik. Selanjutnya orang Jawa
membutuhkan sandang untuk memberikan pengamanan kejiwaan (rasa) dan
melindungi diri dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan alamiah maupun
sosial. Sedangkan kebutuhan akan“papan”, bagi orang Jawa diartikan sebagai
kebutuhan akan: “longkangan” (ruang),“panggonan” (tempat untuk menjalani
kehidupan), “panepen” (tempat kediaman) dan “palungguhan” (tempat
duduk/berinteraksi). Selain itu rumah juga mempunyai arti sebagai perlambang
bahwa dirinya telah berhasil dalam kehidupan di dunia atau telah mantap
kedudukan sosial ekonominya. Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh 2
pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Geometrik yang
dikuasai oleh kekuatan sendiri
2. Pendekatan Geofisik yang
tergantung pada kekuatan alam lingkungan.
Jenis rumah
joglo
1.Rumah
Bentuk Joglo
2. Rumah Bentuk Limasan
3. Rumah bentuk Kampung
4. Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5. Rumah bentuk panggang Pe
Atap
“ Wuwungan “
Atap berbentuk joglo banyak menggunakan
material kayu, mulai dari kayu polos sampai kayu yang penuh ornamen. Hal ini
mengakibatkan beban yang harus disalurkan untuk sampai ke tanah oleh
masing-masing soko cukup berat. Sebenarnya beban yang dipikul oleh soko
dapat dihitung, yaitu dengan cara mengetahui luas area penutup atap yang
disokong oleh masing-masing soko. Luas area tersebut kemudian dikalikan dengan
beban atap per meter persegi, sehingga didapat beban atap yang harus dipikul
oleh masing-masing soko atau tiang. Akibatnya, jumlah beban yang disalurkan
oleh soko tersebut harus lebih kecil dibandingkan dengan tegangan
tanah per sentimeter persegi. Bila beban yang disalurkan oleh soko lebih
besar dari tegangan tanah, maka pondasi akan melesak.
Rangka Atap Joglo dibentuk
oleh beberapa elemen bangunan, yaitu:
(1).Reng,
(2).Usuk,
(3).Molo,
(4).Ander,
(5).Dudur dan
(6). Blandar.
Sedangkan
Tumpang Sari adalah balok-balok yang disusun dengan teknik tumpang,
dan berfungsi untuk mendukung berat atap. Tumpang Sari dapat dibagi atas
dua bagian, yaitu: Bagian sayap (“elar”) dan Bagian dalam (“ulen”).
Gambar: Ornamen Mahkota
Gambar: Mahkota
Gambar: Jenis-jenis Ornamen
a. Gunungan
(Kayon / kekayon)
Gunungan adalah simbol dari jagad raya.
Puncaknya adalah lambang keagungan dan keesaan. Bentuk simbol ini memang
menyerupai gunung (seperti yang sering dipakaidalam
wayang kulit).Dalam prakteknya, orang-orang Jawa memasang motif gunungan di
rumah mereka sebagi pengharapan akan adanya ketenteraman dan lindungan Tuhan
dalam rumah tersebut.
b. Lung-lungan
Sesuai dengan arti harafiah kata “lung”
sendiri yang berarti batang tumbuhan yang masih muda, simbol ini berupa
tangkai, buah, bunga dan daun yang distilir. Jenis tumbuhan yang sering
digunakan adalah tumbuhan teratai,
kluwih, melati, beringin, buah keben dsb. Simbol ini melambangkan kesuburan
sebagai sumber penghidupan dimuka bumi.
c. Wajikan
Berasal dari kata ”wajik”, yaitu sejenis
makanan dari beras ketan yang dicampur gulakelapa. Sesuai dengan namanya,
wajikan berupa bentukan belah ketupat yang ditengahnya terdapat stilasi bunga.
d. Patran
Patran berbentuk seperti daun yang disusun
berderet-deret. Biasanya patran ditempatkan di bagian bangunan yang sempit dan
panjang.
e. Banyu-tetes
Ornamen ini biasa diletakkan bersamaan
dengan patran. Sesuai dengan namanya, oranamen ini menggambarkan tetesan air
hujan dari pinggiran atap (tritisan) yang berkilau-kilau memantulkan sinar
matahari.
f. Banaspati
/ Kala / Kemamang
Ragam hias berbentuk wajah hantu / raksasa.
Banaspati ini melambangkan raksasa yang akan menelan / memakan segala sesuatu
yang jahat yang hendak masuk kedalam rumah. Karenanya ragam hias ini biasa
ditempatkan di bagian depan bangunan,seperti pagar, gerbang, atau pintu masuk.
Tiang “ Saka Guru “ Rumah Joglo mempunyai
16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4
buah “saka guru” dengan masing masing tiang berukuran (15cm x15cm) dan 12 buah
tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah
“Blandar Tumpang Sari” lengkap dengan “kendhit” atau “koloran” yang berfungsi
sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan
asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6
m.
Masing-masing tiang memiliki nama sesuai
dengan letaknya pada bangunan tersebut.Satu atau beberapa tiang yang menyokong
atap yang paling tinggi disebut soko guru, tiang yang letaknya lebih luar dari
soko guru adalah soko rowo, sedangkan tiang yang menyokong atap bagian paling
luar disebut soko emper.
Selain itu, ada beberapa tiang yang
digunakan untuk jenis bangunan beratap joglo yang lainnya, yaitu soko bentung,
yang letaknya menggantung di antara bagian atap paling atas dengan atap di
bawahnya. Sementara itu, soko santen adalah tiang yang tidak langsung menyokong
atap, tapi menyokong gelagar panjang pada bangunan besar beratap joglo.
Gambar: Tiang Soko Santen
Gambar: Bagian Atap Pada Rumah Joglo
Sistem Struktur
Bangunan Joglo
Sistem struktur bangunan Joglo dapat dibagi
dalam dua bagian, yaitu:
(1). Sistim
Struktur Rangka Utama dan
(2). Sistim Struktur Rangka “Pengarak”
(Pengikut).Sistim Rangka Utama Bangunan Joglo terdiri atas tiga bagian, yaitu: “Brunjung”,“Soko
Guru” dan “Umpak”.
Gambar: Struktur Bangunan Joglo
Gambar: Struktur Bangunan Joglo
Gebyog
Gebyog merupakan dinding rumah yg terbuat
dari kayu. Gebyog memberikan rasasejuk disiang hari , dan hangat di malam hari.
Gebyog yang di gunakan untuk OmahLimasan ( dalem) dibuat dengan motif ukiran
Kudus, buatan baru dari kayu tua/lama.Kerangka Gebyog menyatu dengan konstruksi
bangunan.
Gambar: Gebyog
Makna
Filosofis Joglo
Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa
bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam
lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka
keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut.
Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa, merupakan media perantara
untuk menyatu dengan Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan
(sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusi asebagai seorang
individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo
merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki
sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang
tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam
kehidupan.
Gambar: Filosofis Bangunan Joglo
Rumah Bagi Individu
Jawa
Sebagai personifikasi penghuninya, rumah
harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh
penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang
biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin
menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:
- arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar
putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan
lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja
- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar
kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.
- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam
berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan
lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.
- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar
merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap
bencanayang akan menimpanya.
Rumah bagi individu Jawa sangat penting
untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya
akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk
eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi
penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada
dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.
Rumah merupakan pelindung dari kekacauan
dan kesialan yang berada diluar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan
sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya
ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel
padatubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari
dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.
Rumah Bagi Keluarga
Jawa
Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri,
yaitu sebagai suatubentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki
kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu
memiliki rumah tangga sendiri. Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan
hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.
Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan
untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah
membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi
gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari
luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan
bagi keluarga yang menghuni.
Peran utama rumah adalah sebagai tempat
menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga.
Seringkali di depan senthong(kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai
simbol kesinambungan keturunan. Secara khusus, senthong tengah berfungsi
sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai
titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi
keduanya.
Joglo Dalam Kehidupan Masyarakat
Jawa
Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang
kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum
bangsawan sajayang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya
menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo dengan
tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung
lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari,
yaitu yang ditopang oleh empat tiang utamayang disebut saka guru. Bagian saka
guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang
sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya
menggunakan kayu jati,a kibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah
Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata
sosial atas.
Gambar: Analogi Joglo
Pertunjukan-pertunjukan
seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas
stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan
rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki
untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk
nilai-nilaike masyarakatan.
Sebagai
personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai-dinding-atap)
dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagiantubuh manusia
(kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya
(lahir-hidup-mati). Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh
orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai
rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa
melalui mitos,terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan
bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya(pikiran dan ide) karena
dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum
mati untuk menemui Tuhan.
Gambar: Lingkupan
Interior Joglo
Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah
tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur
Joglo. Pada gambar diatas ditandai oleh daerah yang berwarna hijau. Karena
secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’,maka nilai
filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan
bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan
suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju
kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika
Jawa. Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala
sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Pada gambar diatas
ditandai oleh daerah yang berwarna hijau.
Karena secara non-fisik area tersebut dapat
dianalogikan sebagai ‘hidup’,maka nilai filosofis interior Joglo dapat
dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga
nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai
kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju kepada Tuhan. Usaha mencapai
kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.
a. Pendopo
Pendopo, difungsikan sebagai tempat
melakukan aktivitas yang sifatnya formal (pertemuan, upacara, pagelaran seni
dan sebagainya). Meskipun terletak di bagian depan, pendapa bukan merupakan
ruang penerima yang mengantar orang sebelum memasuki rumah. Jalur akses masuk
ke rumah yang sering terjadi adalah tidak dari depan melalui pendapa, melainkan
justru memutar melalui bagian samping rumah. Pendopo mempunyai 36 buah tiang
atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah saka guru
dengan masing masing tiang berukuran (15cm x15cm) dan 28 buah tiang emper
masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah Blandar Tumpang
Sarinlengkap dengan “kendhit” atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok
penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan
material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran (8,4 m x 7,6 m).
Gambar: Denah Pendopo Ndalem Ngabean (kiri) Pendopo Agung Tmii
(kanan)
b. Pringgitan
Pringgitan ,lorong penghubung (connection
hall) antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering
difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit / kesenian / kegiatan
publik Emperan adalah teras depan dari bagian omah-njero. Teras depan yang biasanya
lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya
nonformal.
c. Omah Njero
Omah njero, kadang disebut juga sebagai
omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga
digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah
unit tempat tinggal.
d. Senthong-kiwa
Senthong-kiwa,dapat digunakan sebagai kamar
tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan beras dan alat bertani.
e. Senthong Tengah
Senthong tengah (krobongan), sering juga
disebut sebagai boma, pedaringan, atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional
Jawa, letak senthong-tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar.
Senthong-tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian
rumah. Ruang ini sering kali menjadi “ruangpamer” bagi keluarga penghuni rumah
tersebut. Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang sering
menjadi tempat pelaksanaan upacara / ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi
ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah.